AKSES
PASAR
Penurunan Bea Masuk Melalui
Generalized System Of Preferences (GSP).
Nural Baharuddin
Djoni Tarigan
Dosen Akademi Pimpinan Perusahaan
Abstract
In
the framework of the World Trade Organization ( WTO ) , developed countries
like the United States ( U.S. ), providing import duty remission for certain
goods that are exported by developing countries (under developing countires)
including qualified Indonesian products in the form of concessions tariff
reduction or exemption of import duties which is called Generalized System of
Preferences (GSP).
GSP
program is a program of trading facilities provided by the Government of the
United States to developing countries and LDCs by giving duty free ( zero
percent rate ) to about 5.000 kinds of products .
This
facility is given because of developing countries are considered not able to
produce efficient product. Granting GSP scheme by developed countries ( the
U.S. ) to developing countries have many purposes in addition to improve the
economy of the GSP beneficiary countries through its foreign trade as well in
order to diversify the supplier countries, so that with the increasing number
of countries that become suppliers, the
price of exports to developed countries GSP giver will vary greatly and with
the increasing number of sources, the scarcity of imported goods will be
smaller.
Ease
access to market development through the provision of GSP facilities is one of
the important key in developing the Indonesian market in the USA . Without GSP,
Indonesia will find it difficult to compete with other countries in the U.S.
market. GSP is a program from the U.S. government congress as stipulated in the
Trade Act of 1974 to provide duty-free entry to the 3,400 types of products
from 129 countries, including Indonesia. Indonesia has been utilizing the GSP
of 2.2 billion U.S. dollars or equivalent of 12.2 percent of Indonesia's total
exports to the U.S. in 2012
Abstraksi
Dalam rangka World Trade Organization (WTO), negara-negara
maju seperti Amerika Serikat (AS) , memberikan keringanan bea masuk untuk barang-barang tertentu yang di-ekspor oleh negara-negara
berkembang (under developing countires) termasuk Indonesia yang memenuhi syarat
ekspor dalam bentuk pemberian konsesi penurunan atau pembebasan tariff bea
masuk yang disebut Generalized Sysatem
of Preferences (GSP).
Program General System of Preferences (GSP)
merupakan program fasilitas perdagangan yang diberikan oleh Pemerintah AS kepada
negara berkembang dan LDCs dengan memberikan duty free (tarif nol persen) untuk sekitar 5000 jenis produk.
Fasilitas ini diberikan karena negara berkembang yang dianggap
belum mampu menghasilkan produksi yang efisien. Pemberian skema GSP oleh negara
maju (AS) kepada negara berkembang
mempunyai banyak tujuan disamping untuk meningkatkan perekonomian negara
penerima GSP melalui perdagangan luar negerinya juga dalam rangka diversifikasi
negara-negara pemasok, sehingga dengan makin banyaknya negara yang menjadi
pemasok, maka harga ekspor ke negara maju pemberi GSP akan sangat bervariasi
dan dengan makin banyaknya sumber, maka kelangkaan barang-barang impor akan
semakin kecil.
Kemudahan akses pengembangan pasar melalui
pemberian fasilitas GSP dan merupakan salah satu kunci penting dalam
mengembangkan pasar Indonesia di AS. Tanpa GSP, Indonesia akan kesulitan untuk
berkompetisi dengan negara lain di pasar AS. GSP adalah program kongres pemerintah AS yang tertuang
dalam Undang‐Undang Perdagangan tahun 1974 untuk menyediakan bebas bea masuk terhadap 3.400 jenis produk
dari 129 negara, termasuk Indonesia. Indonesia telah
memanfaatkan GSP sebesar 2,2 miliar dollar AS atau
sepadan 12,2 persen dari total ekspor
Indonesia ke AS Tahun 2012
Kata kunci: WTO, UNCTAD, General System of Preferences
(GSP), Bea masuk, Ekspor
Pendahuluan
AS merupakan kekuatan utama di dunia, baik dari sisi
politik, militer, maupun ekonomi dan sangat
berpengaruh di dunia Perdagangan Internasional. Kondisi perekonomiannya terbesar dan berpengaruh di dunia. Total perdagangan barang dengan
Dunia tercatat sebesar US$
1.240,09 miliar (periode Januari-April
2013). Posisi strategisnya, AS merupakan
negara maju disebut sebagai
adidaya dengan pendapatan per kapita penduduknya
sebesar 48,100 US dollar menjadikannya sebagai kekuatan ekonomi terbesar di
dunia. AS juga merupakan negara maju dengan perekonomian yang terdepan atau dijuluki negara super power,
sehingga dengan kondisi tersebut, AS memegang peranan penting dalam
perekonomian seluruh dunia. Perekonomian AS baik sektor manufaktur maupun
sektor jasa sudah sangat maju. Negara
ini merupakan negara federal yang mencakup 50 (lima puluh) negara bagian AS
luas wilayah 3,79 juta mil persegi (9,83 juta km2) dan
jumlah penduduk sebesar 315 juta jiwa, negara ini multi-etnis dan
multi-kultural di dunia.
Dalam akses pasar, GSP merupakan program
fasilitas perdagangan yang diberikan oleh Pemerintah AS sejak tahun 1974 kepada
127 negara berkembang dan LDCs dengan memberikan duty free (tarif nol persen) untuk sekitar 5.000 jenis produk. Yang
dimaksud pengertian
GSP adalah suatu sistem preferensi dalam
bentuk penurunan atau pembebasan
tarif bea masuk yang diberikan oleh negara-negara maju kepada produk-produk
tertentu yang berasal dari negara-negara berkembang yang memenuhi syarat.
GSP ini
mulai berlaku tahun 1970, sejak 1976 Indonesia mulai memanfaatkan GSP-AS. GSP
diberikan sepihak (nonreciprocal) oleh negara penerima preferensi. Negara maju
sebagai pemberi preferensi tidak menuntut imbalan atas konsesi tariff yang
diberikannya kepada negara berkembang serta tidak bisa dinegosiasikan. Sekalipun
sifatnya non-reciprocal, namun dalam
perkembangnnya negara pemberi GSP cenderung memberikannya dengan syarat-syarat
tertentu. AS mengkaitkan pemberian GSP
dengan masalah-masalah lain, seperti Intellectual Properety Right, International
Wolker Right, dan Market Access
Concideration. AS adalah negara yang paling besar dibandingkan dengan
negara lain dalam pemberian GSP. Program
GSP negara ini ialah menyediakan 4.282 jenis (dalam kategori 8 digit
HS). Produk GSP mencakup 6.831 item dalam 10 kategori Harmonized tariff System
(HTS) .
GSP-AS
merupakan salah satu kunci penting dalam mengembangkan pasar. Akses pengembangan pasar melalui pemberian fasilitas
GSP merupakan salah satu kunci penting dalam mengembangkan pasar Indonesia di AS. Komoditas dari Indonesia d
apat memperoleh GSP dengan mematuhi empat persyaratan, (1),
produk yang termasuk dalam daftar yang memenuhi persyaratan GSP. (2), harus
langsung diekspor dari negara Indonesia atau melalui tagihan menggunakan
dokumen arahan ke alamat di AS. (3)
produk harus dibuat di Indonesia atau, jika menggunakan bahan baku
impor, harus memiliki kandungan lokal minimal 35 % dari harga total yang
dibayarkan oleh importir AS. (4)
importir AS harus meminta pembebasan bea masuk untuk produk dimaksud
(kode tariff) pada bentuk US kustom.
Salah satu manfaat dari penerapan prinsip ini
yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia adalah dengan diterapkannya GSP, keberhasilan
Indonesia untuk meningkatkan ekspornya, terutama dalam ekspor non migas.
Manfaat lain yang dirasakan
langsung adalah dengan pemberian GSP terhadap Indonesia dapat meningkatkan
nilai ekspor Indonesia ke luar negeri.
Tujuan GSP adalah
membantu pembangunan negara berkembang antara lain dengan peningkatan
pendapatan devisa melalui ekspor dan mempercepat industrialisasi. Krteria
Barang untuk GSP, yaitu :
·
Produk
yang tidak mengandung kandungan impor yang tidak diketahui asalnya (wholly
obtained goods) yang artinya status asal barang tidak bermasalah.
·
Produk
yang mengandung kandungan impor yang tidak diketahui asalnya (goods with an
import content/unknown origin).
GSP adalah skema yang meliputi produk industri dan pertanian dari
negara berkembang yang diberikan akses, khusus untuk masuk ke pasar negara
maju. Pemberian skema GSP oleh negara maju kepada negara berkembang mempunyai
banyak tujuan disamping untuk meningkatkan perekonomian negara penerima GSP
melalui perdagangan luar negerinya juga dalam rangka diversifikasi
negara-negara pemasok,
sehingga dengan makin banyaknya negara yang menjadi pemasok, maka harga ekspor ke negara maju pemberi GSP
akan sangat bervariasi dan dengan makin banyaknya sumber, maka kelangkaan
barang-barang impor akan semakin kecil.
Aturan main pemberian GSP oleh negara maju, antara satu negara
dengan negara lainnya sangat berbeda namun secara prinsip pemberian fasilitas
ini senantiasa didasarkan kepada pasal-pasal mengenai pemberian preferensi yang
terdapat didalam perjanjian perdagangan internasional GATT dan WTO.
Pemerintah AS (kongres) memberi fasilitas GSP yang bertujuan
untuk menolong negara-negara berkembang dalam meningkatkan ekspor ke AS, dan
bermaksud untuk membantu
pembangunan negara berkembang, antara lain melalui peningkatan pendapatan
devisa Dan mempercepat industrialisasi
Sejak ditetapkan 39 tahun yang lalu program ini belum pernah
berhenti, walaupun program ini bukan program
permanen. Secara statuta (perundangan) AS,
masa berlaku
GSP bersifat sementara namun secara berkala dapat diperpanjang dalam kurun waktu
tertentu asalkan mendapat mandat perpanjangan oleh Congress
Dari data tahun 2012, AS. mengimpor produk senilai 20
milliar dollar di bawah program GSP. Top 5 negara pemanfaat GSP adalah India
(4,5 milliar dollar), Thailand (3,7 milliar dollar), Brazil (2,3 milliar
dollar), Indonesia 2,2 milliar dollar
atau sepadan dengan 12 % total ekspor RI ke A.S. dan Afrika Selatan 1,3
milliar dollar.
Seperti
yang telah diuraikan sebelumnya preferensi adalah fasilitas yang diberikan oleh
suatu atau sekelompok negara kepada produk-produk tertentu yang memenuhi syarat
berasal dari suatu negara dalam bentuk penurunan atau pembebasan tarif bea
masuk yang merupakan kesepakatan multilateral, regional, bilateral
Indonesia mendapat GSP untuk sebanyak 2.144 jenis
produk. Dari jumlah tersebut Indonesia telah mengekspor hingga 2,2 miliar dollar AS atau sepadan 12,2 persen dari total ekspor Indonesia ke AS
(2012). Pemerintah AS memberi pembebasan tarif bea masuk kepada sebanyak 129
negara berkembang, termasuk 42 negara kurang berkembang termasuk Indonesia
Indonesia
masih membutuhkan fasilitas GSP dalam
meningkatkan ekspor-nya ke AS sebagai salah satu kebijakan akses pasar yang terus diperjuangkan. Dengan GSP berarti produk
Indonesia mempunyai kepastian pasar, khususnya bagi IKM yang perlu didorong ekspornya melalui GSP. Program
GSP (General System of Preferences) AS masih merupakan salah satu kunci penting
dalam mengembangkan pasar Indonesia di AS.
Sesuai dengan mandat dari Kongres AS. maka
program GSP periode ini berakhir pada
tanggal 31 Juli 2013. Indonesia selaku salah satu negara yang masuk dalam
Aliansi GSP (A-GSP) akan terus memperjuangkan perpanjangan GSP.
Dengan tidak adanya pembaharuan terhadap GSP yang berakhir tanggal 31 Juli
2013, maka produk-produk Indonesia dapat dikenakan bea masuk yang tentunya
mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar AS.
Tanpa GSP, Indonesia akan mengalami kesulitan
untuk berkompetisi dengan negara lain di pasar AS. Untuk itu, Pemerintah
Indonesia berharap agar Pemerintah AS dapat mempertimbangkan kembali pemberian
GSP untuk beberapa produk Indonesia. Walaupun Indonesia pada posisi Priority
Watch List dan dianggap tidak serius menyelesaikan masalah IPR (Intellectual
Property Rights),
Produk-produk RI di bawah
program GSP antara lain, ban mobil, plywood, cocoa paste , sarung tangan
karet dan perhiasan emas, perak, batu mulia . Indonesia sebagai peringkat ke-empat yang memanfaatkan GSP
dari AS, selain Indonesia sesungguhnya sudah cukup aktif.
Permasalahan
Berdasarkan mandat
dari Kongres AS, maka program GSP telah
berakhir pada tanggal 31 Juli 2013. Sebagai
akibat tidak terjadi consensus dari anggota Senat, sehingga resolusi "the
Bill 3113" tidak dapat dibawa ke Kongres untuk mendapat persetujuan
perpanjangan. Program GSP tersebut belum dapat diperpanjang karena Senator Tom Coburn (R-OK) memiliki reservasi, sehingga
resolusi perpanjangan tidak dapat dibawa ke House
Representative untuk mendapatkan keputusan perpanjangan. Hal ini disesalkan
banyak kalangan bukan saja dari negara penerima GSP tetapi juga perusahaan AS
yang mengimpor produk asal negara penerima GSP.
Indonesia baru memanfaatkan sebanyak 652 jenis atau sekitar 20 %, maka masih banyak jenis produk yang
belum dimanfaatkan melalui fasilitas
GSP-nya dari 3.400 jenis produk yang ditawarkan AS, Ditambah lagi , kegiatan
ini belum banyak diikuti oleh pengusaha Indonesia.
Perlu dicatat bahwa GSP adalah fasiltas yang diberikan
oleh Departemen Perdagangan AS kepada sejumlah negara untuk mengurangi dan
menghilangkan pajak impor bagi negara-negara yang dianggap berdagang secara
sehat dengan AS
Status GSP bisa ditarik jika Departemen Perdagangan AS
merasa negara diberi fasiltas GSP gagal melindungi hak paten dan hak cipta dari
produk-produk AS. Oleh Indonesia, berbagai persyaratan ini sering dilanggar,
akibatnya fasiltas GSP teracam dicabut
Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam memanfaatkan
GSP, seperti yang telah disinggung di atas, adanya sikap dari Aliansi Kekayaan
Intelektual Internasional (IIPA) yang mengatakan Indonesia kurang serius dalam
menangani hak kekayaan intelektual, khususnya dari produk yang dibuat di AS.
IIPA Dalam situs resminya menulis bahwa pasar di Indonesia didominasi oleh
produk bajakan yang didistribusikan secara online
atau di pasar fisik.
Belum maksimalnya pemanfaatan fasilitas GSP disebabkan
oleh kurangnya pengetahuan para pengusaha Indonesia mengenai manfaat GSP dan
prosedur penggunaannya. Pada
hal GSP ini merupakan strategi yang tepat dalam mempertahankan
pertumbuhan ekspor ke AS di tengah krisis yang sedang melanda negara adi daya
tersebut.
Lemahnya perlindungan
Hak Kekayaan Intelektual, International Intellectual Property
Alliance
(IIPA), mengeluarkan petisi yang mengancam Indonesia telah
gagal untuk memenuhi kriteria kelayakan yang sesuai dalam GSP, yaitu
perlindungan dan penanganan masalah hak kekayaan intelektual. Tentu saja ini
akan mengakibatkan posisi Indonesia dalam peta perdagangan bebas dunia berada
dalam kerugian. Jika petisi ini dikabulkan oleh Komisi Perdagangan AS,
Indonesia akan kehilangan keuntungan untuk ekspor barang bebas pajak ke pasar
AS. Padahal baru-baru ini Indonesia lewat program GSP telah berhasil mengekspor
barang bebas pajak ke AS senilai US 1,9
milyar dollar di tahun 2010.dan tahun
2012 senilai 2,2 US dollar
Penerapan peraturan Hak
atas Kekayaan Intelektual (HKI) yang masih lemah di Indonesia. Meskipun
Indonesia sudah mempunyai berbagai peraturan hukum HKI, namun dalam
implementasinya masih sering terjadi pelanggaran HKI dan penegakan hukumnya kurang
efektif. (Kajian Kerjasama Bilateral
Indonesia – Amerika Serikat Di Bidang Ekonomi Dan Keuangan” tahun
2012, hal vii ).
IIPA telah mengajukan
petisi meminta agar AS mempertimbangkan dan membatasi pemberian GSP bagi Indonesia karena gagal melakukan perlindungan HAKI dan
penegakannya Pembajakan di Indonesia adalah culture dari masyarakat
Indonesia yang sudah dididik untuk mengkonsumsi sesuatu secara gratis
(Sumardi-pemerhati marketing 2012) ) . Budaya gratisan ini telah ada sejak usia
dini, sehingga gratis bukanlah suatu hal yang dianggap tabu atau melanggar
larangan atau aturan. Selain itu, pengusaha Indonesia kurang pro-aktif untuk
menggarap pasar AS dengan program GSP. Kondisi ini membuat preferensi
perdagangan tidak maksimal dimanfaatkan oleh para eksportir Indonesia, hal ini memberikan gambaran bahwa peluang pasar
AS sebagai target ekspor Indonesia tidak signifikan tergarap dan akibatnya
industri manufaktur dalam negeri kurang
dapat berkembang, sehingga ekspor dirasakan jalannya melambat dan otomatis
mempengaruhi perolehan devisa negara.
Perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual yang lemah. Perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) di suatu negara sangatlah penting untuk menstimulus kegiatan inovasi dan
investasi. Investor, baik dalam negeri maupun luar negeri, akan tertarik dengan
standar perlindungan HKI yang tinggi. Di Indonesia, pengaturan hukum terhadap
Hak Kekayaan Intelektual setidaknya dapat ditemukan di Undang- Undang Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten,
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2000 tentang Varietas Tanaman, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang
Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dan
Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Namun, meskipun cakupan hukum HKI di Indonesia relatif luas, dalam
implementasinya sering terjadi pelanggaran HKI. Di Indonesia kasus pembajakan
masih merupakan permasalahan yang serius dan belum ditindak dengan tegas sesuai
dengan peraturan yang ada. ((“Kajian
Kerjasama Bilateral Indonesia – Amerika Serikat Di Bidang Ekonomi Dan Keuangan”
tahun 2012, hal 16)
Berdasarkan informasi dari Kementerian Perdagangan (2012), Fasilitas kredit dari pemerintah AS
ternyata masih belum banyak dimanfaatkan oleh pelaku usaha di Indonesia
disebabkan antara lain :
1.
Ketidaktahuan Pengusaha Indonesia;
Masih kurangnya pengusaha yang belum memanfaatkan
fasilitas ini, kemungkinan karena fasilitas ini belum diketahui oleh para
pengusaha Indonesia. Atau, bisa jadi ada pengusaha yang masih kesulitan
menyesuaikan diri dengan sejumlah ketentuan dalam mendapatkan fasilitas.
2.
Mengalami kesulitan memenuhi persyaratan untuk
mendapatkan fasilitas GSP. Untuk meningkatkannya, pertama dengan sistem edukasi
dan Kementerian Perdagangan aktif
membantu mereka dengan membuka fasilitas yang lain tentang apa yang mereka
belum pahami peraturannya;
3.
Pengusaha Indonesia
yang belum memiliki pasar di AS, perlu untuk mengikuti pameran dagang di Negara
Paman Sam tersebut, kegiatan ini belum banyak diikuti pengusaha Indonesia.
Selain untuk mendapatkan fasilitas GSP kegiatan tersebut dapat memperluas pasar
Indonesia di AS.
4.
Memperluas pasar
Indonesia di AS dengan cara (a) membantu
menyelesaikan kasus-kasus perdagangan, memberikan informasi secara lengkap
terkait kebijakan perdagangan serta membantu mencari pasar lain ketika
pengusaha Indonesia tidak berhasil menembusnya.(b) Yang tidak kalah penting
menurut Kementerian Perdagangan adalah
peningkatan kerja sama dengan Pemerintah AS, juga dengan pengusaha Indonesia
sendiri dan membantu pengusaha melakukan usaha ekspor online dan help-desknya.
5.
Semua produk kalau
melebihi US$ 150 juta, berarti dia sudah graduate.
Oleh karena itu Indonesia nggak senang di-graduate.
Dalam hal ini, ada dua hal yang dilakukan pemerintah,
yakni pengusaha yang sudah punya pasar ke AS, maka pemerintah akan membantu
pengusaha mencapai fasilitas lainnya. Untuk pengusaha yang belum punya pasar di
AS, maka pemerintah akan mengarahkan mereka untuk mengikuti pameran-pameran
dagang. Terdapat banyak pameran dagang yang besar di AS yang belum banyak
diikuti oleh pelaku usaha Indonesia. Pemerintah Indonesia terus bekerja sama
dengan pemerintah AS untuk membuat networking lebih baik. Sedangkan
dengan dunia usaha di Indonesia pemerintah juga terus menjalin kerjasama untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan per dagangan dan membantu pengusaha untuk
melakukan ekspor.
Kemungkinan lainnya, diperkirakan banyak pengusaha
Indonesia yang kegiatan ekspormya ke AS telah mendapat kemudahan bea masuk nol
persen sampai dengan lima persen
tanpa menggunakan fasilitas GSP.
Hal ini tidak termonitor sebagai bagian dari pada kebijakan kemudahan program
GSP tersebut. Bisa juga terjadi ekspornya melalui Kawasan Berikat
Nusantara (KBN) yang diperkirakan tidak menggunakan fasiiltas GSP. Kondisi ini
menunjukkan bahwa data dan nilai perolehan GSP Indonesia secara keseluruhan
dapat dikatakan statistiknya kurang
reperensentatif atau kurang
terwakili secara maksimal perolehan nilai ekspor melalui GSP
tersebut. Dibalik itu, dengan adanya
perpanjangan GSP tersebut akan berdampak dua hal bagi eksportir Indonesia,
pertama pasar ekspor di AS akan aman untuk beberapa tahun berikutnya selama
implementasi GSP dan kedua dengan pasar yang secure, pelaku usaha memperoleh kepastian usaha sehingga akan
menarik para buyer untuk menempatkan
modalnya di Indonesia.
Dalam artikel Amelia tentang GSP, Indonesia sebagai negara berkembang mengalami
kendala pada pelaksanaan prinsip preferensi bagi negara berkembang ini. Kendala
yang dihadapi Indonesia merupakan kendala di pelaksanaan GSP tersebut.
Pemanfaatan fasilitas GSP yang diberikan oleh negara maju tidak termanfaatkan
secara maksimal oleh eksportir Indonesia. Pertama, hal ini dapat terjadi karena
tidak semua produk yang diberikan GSP adalah produk ekspor non migas Indonesia.
Kedua karena ketidaktahunan para eksportir Indonesia tentang fasilitas GSP
karena kurangnya informasi dari pemerintah atau memang keengganan dari
eksportir Indonesia untuk masuk pasar negara maju pemberi GSP karena
kekhawatiran kalah bersaing, walau ada fasilitas GSP atau eksportir kita yang
hanya berani untuk memasarkan produknya di dalam negeri saja.
Selain itu, adanya batas waktu (jangka waktu) pemberian
GSP. Apabila jangka waktu GSP ini telah berakhir, maka untuk melakukan
perpanjangan dalam perjanjian GSP ini dibutuhkan waktu yang lama dalam
melakukan perundingan dengan negara pemberi GSP. Sebagai contoh, dengan
habisnya jangka waktu pemberian GSP oleh AS
kepada Indonesia. Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC mengatakan
membutuhkan waktu 10 bulan untuk melakukan pendekatan dan negosiasi terhadap
pemerintah AS itu sendiri. Pemberian GSP
ini bukan semata-mata ditujukan untuk pengembangan ekonomi semata. Akan tetapi,
lebih bernuansa politik sebagai salah satu cara guna menekan negara-negara
berkembang agar tetap mengikuti kebijakan dari negara-negara maju. Mengingat
bahwa GSP tersebut dapat dicabut apabila negara-negara penerima GSP tidak
melaksanakan kepentingan negara maju
(pemberi GSP), seperti terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), tidak
mendukung demokrasi sosial, mengabaikan lingkungan hidup (tidak pro-lingkungan
hidup), dan sebagainya. Dalam perkembangannya, tata cara pemberian GSP oleh
negara maju kepada negara penerima GSP selalu berubah-ubah menurut kebutuhan,
sering kali didapati bahwa perubahan-perubahan tersebut cenderung makin
memperkecil ruang lingkup preferensi yang sudah dinikmati oleh pengusaha
pengguna GSP atau malah dihapuskan preferensi tersebut. Karena GSP pada
hakikatnya adalah pemberian preferensi dari satu negara ke negara lain, maka
sebagian besar dari perubahan tata cara maupun skema GSP yang diberikan tidak
dilakukan perundingan untuk adanya suatu perubahan. Sistem preferensi umum yang
diberikan negara maju secara unilateral
dapat ditarik sewaktu-waktu sehingga posisi negara berkembang sangat lemah.
Pembahasan
Berkaitan dengan penerapan GSP atau
bea masuk preferensial (yang lebih rendah), Indonesia merupakan salah satu
negara penerima (beneficiary country) dari AS
Perdagangan Internasional merupakan salah satu bagian
dari kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Perhatian dunia usaha terhadap bisnis
internasional juga semakin meningkat, hal ini terlihat dari semakin
berkembangnya arus peredaran barang, jasa, modal, dan tenaga kerja antar negara.
Kebijakan
Perdagangan Internasional (WTO dan UNCTAD) tersebut negara maju, seperti AS memberikan preferensi atau fasilitas ekspor
untuk komoditi tertentu bagi negara-negara berkembang (under developing countries)
termasuk Indonesia dan negara kurang maju ((least
Developed Countries-LDCs) dengan fasiltas ekspor berupa keringanan bea masuk
melalui program GSP. Kebijakan WTO, bahwa
negara-negara maju memberikan keringanan atau pembebasan bea masuk untuk
barang-barang tertentu yang di ekspor oleh negara-negara berkembang termasuk
Indonesia yang memenuhi syarat dalam bentuk pemberian konsesi penurunan atau
pembebasan tariff bea masuk yang disebut GSP. Tujuan dari program ini lebih
mengarah untuk membantu negara berkembang, memperluas ekonomi mereka dengan
mengizinkan barang‐barang tertentu
yang akan diimpor ke AS untuk mendapatkan fasilitas bebas bea masuk.
Teori dari sistem
preferensi ini bahwa negara-negara harus diizinkan untuk menyimpang dari
kewajiban-kewajiban Most Favoured Nation (MFN) untuk memperbolehkan
mereka mengurangi tarifnya pada impor
barang manakala barang-barang tersebut berasal dari negara-negara berkembang. Hal
tersebut akan memberikan negara-negara berkembang suatu keuntungan kompetitif dalam masyarakat industri
yang menjadi sasaran ekspor. Hak-hak tersebut diberikan sebagai suatu upaya
bersyarat karena pemberian fasilitas itu hanya untuk sementara waktu, atau
sebagai upaya dalam rangka transisi yang tunduk pada prinsip bertingkat (graduation). Indonesia merupakan salah
satu negara berkembang anggota WTO dan penerapan prinsip preferensi bagi negara
berkembang juga diperoleh oleh Indonesia. Salah satu manfaat dari penerapan
prinsip ini yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia adalah dengan
diterapkannya GSP dalam keberhasilan Indonesia untuk meningkatkan ekspornya,
terutama ekspor non migas .
Tujuan pemberian GSP pentingn
lainnya adalah untuk meningkatkan
devisa, mempercepat industrialisasi
dan pertumbuhan negara-negara berkembang,
dengan memberikan serta membuka peluang untuk memasarkan barang-barang yang
dihasilkannya, sehingga barang-barang tersebut dapat bersaing dipasaran
negara-negara maju. Prinsip
preferensi bagi negara berkembang ini memberikan dampak positif terhadap
perekonomian Indonesia. dan dapat meningkatkan nilai ekspor Indonesia ke luar
negeri. Dalam mendorong peningkatan ekspor Indonesia ke pasar AS melalui
program preferensi (form A), Pemerintah Indonesia mengeluarkan Perarutan Menteri Perdagangan RI No. 59/M-DAG/PER/!2/2010
tentang Ketentuan Penerbitan Surat Keterangan Asal
(SKA) atau Certificate
of Origin (COO) untuk barang ekspor
Indonesia, pasal 2 ayat (2)) bahwa disebutkan :
Preferensi sebagiamana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan untuk
memperoleh fasiltas pengurangan atau pembebasan tariff bea masuk yang diberikan oleh suatu negara
atau sekelompok negara terhadap barang
ekspor Indonesia yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan perjanjian
Internasional atau penetapan unilateral. Untuk itu, dapat disimpulkan manfaat GSP bagi
Indonesia, yaitu :
•
Devisa negara dan
mempercepat proses industrialisasi
•
Daya tarik tersendiri terutama bagi
relokasi perusahaan-perusahaan dari negara maju
•
Peningkatan ekspor Indonesia mampu
bersaing di pasar internasional. .
•
Meningkatkan perekonomian negara penerima GSP melalui
perdagangan luar negerinya dalam rangka diversifikasi negara-negara pemasok
Sercara prinsip, GSP adalah
skema yang meliputi produk industri dan pertanian dari negara berkembang yang
diberikan akses khusus untuk masuk ke pasar negara maju. Pemberian skema GSP
oleh negara maju kepada negara berkembang mempunyai banyak tujuan disamping
untuk meningkatkan perekonomian negara penerima GSP melalui perdagangan luar
negerinya juga dalam rangka diversifikasi negara-negara pemasok, sehingga
dengan makin banyaknya negara yang menjadi pemasok, maka harga ekspor ke negara
maju pemberi GSP akan sangat bervariasi dan dengan makin banyaknya sumber, maka
kelangkaan barang-barang impor akan semakin kecil.
Secara tradisional market, AS
adalah merupakan pasar ekspor Indonesia potensial ke-empat setelah Jepang, Eropa
dan Singapore. AS sebagai negara maju yang memiliki kebijakan dalam Program GSP yang saat ini masih merupakan salah satu kunci penting
dalam mengembangkan pasar Indonesia di AS..
Banyak produk IKM Indonesia yang dapat melakukan
akses pasarnya ke pasar AS. Sektor Industri Kecil dan
Menengah (IKM) memiliki kontribusi yang cukup besar dalam meningkatkan volume
ekspor Indonesia. Hal ini bahwa sektor pembangunan ekonomi kerakyatan yang memegang
peranan penting dan strategis adalah pengembangan Industri Kecil dan Menengah
(IKM).
Menurut Atase
Perdagangan RI di Washington DC, USA, akses akan semakin lebih leluasa
bagi pebisnis ke pasar AS terutama untuk produk dari negara-negara berkembang. Akses
juga membuka semakin banyaknya pilihan berbagai jenis industri dan konsumen AS.
Sumber pemasukan komoditas impor yang
besar, senilai 19,1 billion US dollar
masuk melalui GSP pada tahun 2011. Kalau 10 persen saja dari (nilai
ekspor Indonesia ke AS) 19,1 billion, nilai dan volume ekspor Indonesia
meningkat dari yang didapat sekarang. GSP sangat potensial mengingat Indonesia
dan AS sama-sama partner dagang penting.
Ekspor Indonesia ke pasar AS mencapai sekitar 19,1 billion US dollar, naik
hampir 17 persen dibanding tahun 2010. AS merupakan pembelanja produk Indonesia
yang terbesar ke-tiga.
GSP bagi Indonesia disamping
untuk memperoleh devisa negara dan mempercepat proses industrialisasi serta pertumbuhan
perekonomian Indonesia, dan untuk menarik investor ke dalam negeri, tetap akan menjadi daya tarik tersendiri terutama bagi
relokasi perusahaan-perusahaan dari negara maju. Peningkatan ekspor Indonesia
tetap harus segera mencari jalan keluar bagi pengembangan industri dan
perdagangannya agar mampu bersaing di pasar internasional. Indonesia harus
dapat menciptakan sendiri daya saing (Competitive
Advantage) produknya tanpa harus mengandalkan diskon yang diberikan negara
maju dengan pengurangan tarif impornya.
Hingga saat ini Indonesia
mendapat Fasilitas GSP untuk sekitar 2.249 jenis produk
dari 3.400 jenis produk.
Dari jumlah tersebut Indonesia telah mengekspor hingga 1,8 miliar dollar AS
atau sekitar 12,2 persen dari keseluruhan total ekspor Indonesia ke AS.
Sementara dari total ekspor non migas
kontribusinya mencapai 20-25 % pertahunnya. Dari
2.249 produk Indonesia yang mendapatkan fasilitas GSP, baru kurang lebih 6.52
produk yang memanfaatkan fasilitas GSP, atau sekitar 25% (berdasarkan data web
US International Trade Commission-USITC).
Dengan adanya fasilitas GSP
dimaksud berarti produk Indonesia akan aman
dipasar di AS untuk beberapa tahun
berikutnya selama implementasi GSP dan dengan pasar yang secure, pelaku usaha memperoleh kepastian usaha sehingga akan
menarik para buyer untuk menempatkan
modalnya di Indonesia. Untuk dapat memilihara kondisi
pasar tersebut, Indonesia harus mematuhi seluruh hasil kesepakatan dalam
WTO, khususnya hak atas kekayaan intelektual
(Intelectual Property Righ -IPR)
sebagaimana
yang dipermasalahkan oleh Aliansi
Kekayaan Intelektual Internasional (IIPA). Dengan demikian, Indonesia harus
tetap memikirkan kepentingan nasional namun tidak melanggar rambu rambu
ketentuan WTO.
Menurut “Warnita Amelia” pemberian
perlakuan khusus bagi negara berkembang ini disebut dengan prinsip preferensi.
Prinsip mengenai preferensi bagi negara berkembang adalah
prinsip yang mensyaratkan perlunya suatu kelonggaran-kelonggaran atas
aturan-aturan hukum tertentu bagi negara negara berkembang. Artinya
negara-negara ini perlu mendapat perlakuan khusus manakala negara-negara maju
berhubungan dengan mereka. Untuk meningkatkan pembangunan mereka mendorong negara-negara industri
dapat membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang.
Pemberian perlakuan khusus
tersebut bertujuan untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara kedua negara.
Perlakuan khusus dimaksud adalah dengan memberikan akses kepada pasar negara –
negara kaya dengan pengenaan tarif yang relatif rendah dan mendapatkan
pengecualian tertentu dari ketentuan perjanjian WTO . Kendatipun demikian,
kemajuan dan kesejahteraan yang diharapkan tidak selalu mudah untuk dicapai.
Penutup
1.
Program GSP merupakan program fasilitas
perdagangan yang diberikan oleh Pemerintah AS sejak tahun 1974 kepada 127
negara berkembang dan LDCs dengan memberikan duty free (tarif nol persen) untuk sekitar 5.000 jenis produk.
Sejak ditetapkan 39 tahun yang lalu program in belum pernah berhenti, walaupun
program ini bukan program permanen. Secara statuta (perundangan) AS masa
berlaku GSP bersifat sementara namun secara berkala dapat diperpanjang dalam
kurun waktu tertentu asalkan mendapat mandat perpanjangan oleh Congress. Dari
data tahun 2012, AS mengimpor produk senilai 20 milliar dollar di bawah program
GSP. Top 5 negara pemanfaat GSP adalah India (4,5 milliar dollar), Thailand
(3,7 milliar dollar), Brazil (2,3 milliar dollar), Indonesia 2,2 milliar USdollar atau sepadan dengan 12 % total ekspor RI
ke AS dan Afrika Selatan 1,3 milliar
USdollar.
2. Indonesia sebagai peringkat
ke-empat yang memanfaatkan GSP dari AS, Indonesia sesungguhnya sudah aktif.
Namun, kalau dilihat dari 3.400 jenis produk yang ditawarkan AS dan Indonesia
baru memanfaatkan sebanyak 652 jenis atau sekitar 20%,
maka masih banyak jenis produk yang belum dimanfaatkan fasilitas GSP‐nya,” Belum maksimalnya
pemanfaatan fasilitas GSP disebabkan kurangnya pengetahuan para pengusaha
Indonesia mengenai manfaat GSP dan prosedur
penggunaannya.” Pemanfaatan GSP ini merupakan strategi yang tepat dalam
mempertahankan pertumbuhan ekspor ke AS. AS tetap merupakan pasar terbesar di
dunia, sehingga Indonesia harus mempertahankan atau bahkan meningkatkan ekspor
Indonesia ke negara tersebut,” Sebagai peringkat ke-empat yang memanfaatkan GSP dari AS,
Indonesia sesungguhnya sudah cukup aktif. Namun, kalau dilihat dari 3.400 jenis
produk yang ditawarkan AS dan Indonesia baru memanfaatkan sebanyak 652 jenis atau sekitar 20 persen maka masih
banyak jenis produk yang belum dimanfaatkan fasilitas GSP-nya,"
3. Memperluas
pasar Indonesia di AS dengan cara :(a) membantu
menyelesaikan kasus-kasus perdagangan, memberikan informasi secara lengkap
terkait kebijakan perdagangan serta membantu mencari pasar lain ketika
pengusaha Indonesia tidak berhasil menembusnya. (b) peningkatan kerja sama dengan Pemerintah AS,
juga dengan pengusaha Indonesia sendiri dan membantu pengusaha melakukan usaha ekspor online
dan help-desknya. (c) dipertahankan
sebagai “ market akses ” Indonesia memasuki pasar AS. (d) menggunakan GSP sebagai alat pemasaran (ekspor). (e) sosialisasi Pro-aktif ke seluruh
Pemangku Kepentingan, khususnya agar pelaku usaha dan Perguruan Tinggi lebih memahami manfaat dari GSP tersebut. Pemerintah harus memberikan penjelasan pada
setiap perubahan tentang GSP (resolusi "the Bill 3113" ). (f) mengikuti
Seminar dan perbanyak pelatihan tentang GSP, Partisipasi aktif Pameran Dagang di pasar AS. (g) mengembangkan
kerjasama internasional dalam perdagangan agar pengusaha nasional dapat
mengembangkan daya saing di luar negeri, (h) Pemerintah harus memberikan
penjelasan pada setiap perubahan tentang GSP, (i) memanfaatkan perwakilan
perdagangan RI di luar negeri seperti atase perdagangan dan ITPC. (j) membangun simboisis yang kuat antara PT dengan mengkaji kegiatan
fasiltas ekspor (k) melakukan lobby dan negosiasi dengan
pihak pemerintah Amerika Serikat (USTR) yang sangat intens
4. Ketidakpastian dalam perpanjangan GSP
menyebabkan perusahaan di AS beralih ke perusahaan non-GSP sehingga berdampak
bagi jutaan pekerja di negara-negara penerima GSP termasuk Indonesia. Program
GSP perlu terus dimanfaatkan oleh eksportir RI terutama perusahaan skala kecil
dan menengah untuk meningkatkan daya saing dan menjalin kemitraan dengan
importir AS ketika telah kompetitif
maka dapat graduate tanpa memerlukan
program GSP.
5. Program GSP agar tetap dipertahankan
sebagai “ market akses ” Indonesia memasuki pasar AS dalam
meningkatkan ekspor non migas . Oleh karena itu, kegiatan sosalisasi dan
promosi yang lebih pro aktif perlu ditingkatkan volumenya. Selain itu, diperbanyak
pelatihan tentang GSP, pemerintah harus memberikan penjelasan pada setiap
perubahan tentang GSP, memperbanyak dan memperdalam masalah GSP dengan cara
simulasi dan penyuluhan GSP
ke-berbagai instansi dan kepada pembina apararur ekspor , menggencarkan
sosialisasi baik melalui media dan Internet/situs, social media, pasang banner disetiap situs/WEB terutama di
situs Kementerian Perdagangan dan sosialisasi kepada eksportir dan instansi
terkait secara terstuktur, mengadakan seminar/workshop, menyusun
buku panduan, membuat website mengenai GSP
6. Menggunakan GSP sebagai alat pemasaran,
mengidentifikasi GSP produk yang memenuhi syarat ekspor dan mempertimbangkan
produk dengan keunggulan GSP. Disamping itu, mengidentifikasi bentuk &
pengembangan pembeli potensial AS dengn cara memahami pasar AS. Sedangkan program lainya
yang tidak kalah pentingnya : (a) meningkatkan akses ke pasar AS, (b)
pilihannya diperluas untuk industri AS & konsumennya, (c)
memanfaatkan penyediaan gratis hingga 5.000
produk dari 128 negara
Daftar Pustaka
1. Amelia , Warnita, 2012, Penerapan Prinsip Preferensi
Bagi Negara Berkembang Dalam
2. Perdagangan Bebas Pada Organisasi Perdagangan Dunia
(World Trade Organization/ WTO) Dan Pemanfaatannya Oleh Indonesia,
Artikel, Pascasarjana, Program Studi
Ilmu Hukum Universitas Andalas
3. Andri Akbar, Nasution, World Trade
Organization (WTO)
atau Organisasi Perdagangan, 2010
4. Atase
Perdagangan Washington DC, 2011, Laporan
Tahunan, , KBRI RI di Washinfgton DC
5. Gita
Wirjaman, Mendag, 2012, FASILITAS GSP: Gita yakin tak akan dicabut AS,
6. Halwani,
Hendra, Prof, Dr, Ma, Ekonomi Internasional & Globalisasi Ekonomi, edisi
kedua, 2005
7. Liberalisasi Perdagangan Dunia UU No.7 Tahun 1994, Indonesia resmi
menjadi anggota WTO Kebijakan Umum Ekspor-Impor-Global Market ,
Indonesia 2012
8. Nazril
fathun, peran dan manfaat WTO bagi kepentingan pembangunan indonesia, 2009
9. Nazril
fathun, peran dan manfaat WTO bagi kepentingan pembangunan indonesia, 2009
10. Perarutan Menteri Perdagangan RI No. 59/M-DAG/PER/!2/2010
tentang Ketentuan Penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO) untuk barang ekspor Indonesia
11. Sekilas
mengenai fasiltas GSP Pemerintah AS
12. Sekilas
tentang organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Apakah WTO itu, 2010
Tabel 1 :
Data Komoditi GSP Indonesia Ke Amerika
Tahun 2008 – 2012
N0
|
TAHUN
|
JUMLAH
|
||
KELOMPOK PRODUK EKSPOR (HS)
|
DEVISA (USD)
|
KETERANGAN
|
||
1
|
2008
|
421 Produk
|
5.245.795.300
|
|
2
|
2009
|
416 Produk
|
3.499.323.358
|
|
3
|
2010
|
451 Produk
|
3.212.513.301
|
|
4
|
2011
|
449 Produk
|
3.556.527.457
|
|
5
|
2012
|
478 Produk
|
7.962.124.524
|
Sumber : Direktorat Fasiltasi Ekspor dan Impor - BPS , diproses oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian
Perdagangan, data diolah
Tabel 2 :
Perkembangan Nilai Ekspor GSP Indonesia Ke Amerika Serikat
2008-2012
Dalam juta US dollar
|
|||||||
Tahun
|
Value SKA
|
Value according to BPS
|
Selisih
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
||||
2008
|
5,258
|
13,037
|
7,779
|
||||
2009
|
3,501
|
10,850
|
7,349
|
||||
2010
|
3,214
|
14,267
|
11,053
|
||||
2011
|
3,557
|
16,459
|
12,902
|
||||
2012
|
7,962
|
14,874
|
6,912
|
||||
Sumber : SKA dan BPS Direktorat Fasilitasi Ekspor
dan Impor, Kemendag, data diolah
|
|||||||
Tabel 3 :
Ekspor Non Migas Ke
Amerika Serikat
Dalam
: US Milyar
Tahun
|
Nilai
--------------------------------------------------------------- % Pangsa GSP
Non Migas
GSP
|
2005
|
1,57
10,41
|
2006
|
1,89 11,46
|
2007
|
2,19 11,83
|
2008
|
|
2009
|
1,40 5,2
|
2010
|
1,79 27,6
|
2011
|
1,96 10,3
|
Sumber : Laporan Atdag Washington, tahun 2008
tidak tercatat.
Tabel
4
Daftar
Negara Pemberi GSP kepada Indonesia
2013
No
|
Nama
Negara
|
Keterangan
|
1
|
Australia
|
|
2
|
Belarus
|
|
3
|
Kanada
|
|
4
|
Jepang
|
|
5
|
Selandia
Baru
|
|
6
|
Norwegia
|
|
7
|
Swiss
ditambah Liechtenstein
|
|
8
|
Turki
|
|
9
|
Amerika
Serikat
|
|
10
|
Uni
Eropa :
|
Uni Eropa :
Austria, Hongaria, Perancis, Belgia, Italia,
Polandia, Bulgaria, Irlandia, Portugal , Belanda Inggris, Rumania, Siprus,
Jerman, Spanyol, Ceko, Luxemburg, Slovakia, Denmark, Latvia, Slovenia, Estonia.
Lithuania, Swedia. Finlandia. Malta. Yunani
Tabel 5 :
GSP dalam Angka
·
Tahun
GSP pertama kali dilembagakan :
1976
·
Total
impor AS di bawah GSP (2012) :
$ 19,900,000,000
·
tugas
Impor disimpan pada produk GSP (2012) :
$ 742,000,000
·
Jumlah
negara penerima GSP dan wilayah :
127
44: · Jumlah penerima GSP yang paling negara
(LDCs) dikembangkan
·
Total
jumlah 8 digit pos tarif US memenuhi syarat
untuk bebas bea masuk di bawah GSP : 4975
·
Ini,
jumlah yang memenuhi syarat untuk semua
penerima GSP :
3.511
·
Nomor
memenuhi syarat untuk LDC
hanya penerima: 1.464
Sumber : United State of Trade Representatif (USTR), USA : Kantor Perwakilan Dagang
Amerika Serikat (USTR) adalah badan lebih dari 200 profesional yang berkomitmen dengan
puluhan tahun pengalaman khusus dalam isu-isu perdagangan dan wilayah di dunia.
Tabel 6 :
2012 Top GSP Produk (berdasarkan nilai):
1.
Ferroalloys ($
1 miliar)
2.
Bagian kendaraan bermotor ($ 938.000.000)
3.
Karet ban radial ($ 883.000.000)
4.
Perak dan perhiasan emas ($
748.000.000)
5.
Minyak mentah cair ($ 664.000.000)
6.
Plat aluminium dan produk terkait ($
427.000.00
7.
Besi dan tabung baja dan pipa fitting ($ 359.000.000)
8.
Kawat optik terisolasi dan serat dan kabel
($
330.000.000)
9.
Bagian transmisi ($
324.000.000)
10.
Mesin fitting untuk pipa, tong, &
produk terkait ($
291.000.000)
Sumber : United State of Trade Representatif (USTR), USA
Tabel
7
Perkembangan
Nilai Ekspor GSP Indonesia ke AS
2008-2012
Dalam juta US dollar
Tahun
|
Value SKA
|
Value according to BPS
|
Selisih
|
2008
|
5,258
|
13,037
|
7,779
|
2009
|
3,501
|
10,850
|
7,349
|
2010
|
3,214
|
14,267
|
11,053
|
2011
|
3,557
|
16,459
|
12,902
|
2012
|
7,962
|
14,874
|
6,912
|
Sumber : : SKA dan BPS, Ditfas
Ekspor-Impor Kemendag
|
|||||
Perkembangan Nilai Ekspor GSP
Indonesia ke AS
2008-2012
Dalam juta US dollar
(gambar)
Silakan Download File Dibawah Ini
Download
Terimakasih atas artikelnya. Baca artikel saya juga di Akademi Asuransi
BalasHapusMengapa Tanggapan Konsumen Penting Bagi Bisnis Anda